Ust. DR. Miftah el-Banjary, MA
Ust. DR. Miftah el-Banjary, MA
Wacana yang baru digulirkan oleh pimpinan partai pendukung penguasa hari ini adalah ada upaya mengusulkan "menggeser" kesepahaman kolektif bangsa terhadap dasar negara dan ideologi "Pancasila" (5 Sila Dasar) menjadi "Trisila" (3 Sila Dasar), yaitu:
1) Sosio-Nasionalisme.
2) Sosio-Demokrasi.
3) Ketuhanan yang Berkebudayaan atau Berkeadaban.
Bahkan, ada usulan lebih fundamental menjadikannya hanya menjadi satu asas tunggal, yaitu Ekasila.
Sampai di sini, sebagai anak bangsa yang diajari sejarah panjang tentang berdirinya Republik ini, kita akan dibuat bertanya-tanya, "Ada apa dengan upaya usulan perubahan itu?!"
dan "Seberapa penting RUU HIP itu dibuat lagi?!" Ada apa ini?!
Lantas, "Apa yang salah dengan rumusan "Pancasila" kita selama ini, hingga dicari-cari lagi upayanya untuk menafsir atau menakwilkan lagi rumusan paling bersejarah dan paling penting itu, bahkan telah dianggap final oleh "Founding Father" kita sejak kemerdekaan hingga hari ini?!"
Perlu dipahami bahwa rumusan Pancasila itu bukan sekedar "teks historis" yang bisa kembali dan kapan saja bisa di-reinsterpretasikan ulang sesuai keinginan dan kepentingan ideologi tertentu atau partai politik tertentu. Tidak bisa!
Meskipun, jumlah pengusulnya dan pengusung partai penguasa atau pendukung di parlememen itu persentasinya mendominasi. Tidak semudah itu. Ini menyangkut sejarah panjang berdirinya bangsa ini.
Dasar ideologi Pancasila merupakan fakta sejarah serta rekaman perjalanan panjang bangsa ini sebagai masyarakat yang telah mengenal ketinggian peradaban dan kultur budaya dalam kurun waktu yang tidak singkat.
Jika kita mau menyoroti sisi sejarah Pancasila, maka istilahnya telah jauh dikenal sebelum adanya republik ini. Istilah Pancasila telah ada semenjak masa kerajaan Majapahit.
Pancasila yang merupakan bahasa Sansakerta terambil dari dua suku kata, Panca yang berarti Lima, sedangkan Sila berarti Dasar.
Jadi, Pancasila berarti Lima Pokok atau Lima Dasar yang telah dirumuskan oleh Empu Prapanca di dalam kitabnya Negarakertagama.
Selain itu, istilah Pancasila juga masyhur digunakan oleh Empu Tantular di dalam kitabnya yang bernama Sutasoma.
Baik, Empu Prapanca maupun Sutasoma, keduanya merupakan pujangga sekaligus pemikir ternama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di kerajaan Majapahit.
Ajaran tentang 5 dasar atau 5 sila tersebut berisi tentang 5 nasehat dan ajaran tentang moralitas, akhlak kepribadian yang luhur, ajaran hidup berkeadaban, kemanusian, keadilan dan bersosial terhadap manusia lainnya.
Bahkan, menurut pandangan saya- apa yang menjadi lima sila dasar Pancasila versi Empu Prapanca dan Tantular berbahasa Sansekerta itu boleh jadi terinspirasi dari rumusan "Piagam Madinah", disebabkan kesamaan ajarannya.
Piagam Madinah merupakan konsensus atau bai'at yang disepakati antara kaum Anshar dan Nabi Muhammad Saw yang ketika mereka berbaiat mengikuti dan menerima Islam dihadapan Nabi Muhammad Saw pada abab ke-7 M atau yang jauh lebih awal lebih dari 750 tahun daripada konsep Pancasila versi Majapahit itu.
Jadi, dengan memahami kesadaran sejarah panjang ini, lantas apa yang diinginkan dari usulan konsep "Trisila" atau "Ekasila", selain menunjukkan ketidaksadaran atau ketidakpahaman sejarah dari penggunaan istilah Pancasila itu sendiri sebagai manefestasi jati diri bangsa kita yang pernah besar menguasai wilayah Nusantara ini.
Jika kita ingin merujuk sisi sejarah yang lebih spefisik lagi, maka sejarah tentang Pancasila bukan sekedar ideologi bangsa, tapi ia merupakan konsensus atau bai'at tentang persatuan dan kesatuan anak bangsa -yang dengan kerelaan dan keterbukaan secara lapang dada- mereka menerima serta meleburkan berbagai anekaragaman agama, suku, adat, bahasa, ideologi, dan kepentingan primordialisme dalam bingkai kesatuan NKRI.
Mari kita telusuri sejarah awal penamaan istilah Pancasila itu sendiri dalam konteks sejarah kebangsaan.
Setelah terbentuknya BPUPKI pada tanggal 24 April 1945 dan dikukuhkan pada tanggal 28 Mei 1945, panitia ini melaksanakan sidangnya dalam dua tahap. Sidang pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dan sidang kedua berlangsung dari tanggal 10 hingga 16 Juli 1945.
Anggota BPUPKI yang mulanya berjumlah 62 orang kemudian menjadi 68 orang itu diwakili oleh Faksi Muslim Nasional dan Faksi Nasional Netral.
Faksi Muslim Nasional diwakili antara lain:
1. KH. Agus Salim
2. KH. Mas Mansur
3. KH. Masjkur
4. KH. Wahid Hasyim
5. KH. A. Sanusi
6. KH. Abdul Halim
7. Dan beberapa orang lagi.
Faksi Nasional Netral diwakili antara lain:
1. Ir. Soekarno
2. Muhammad Hatta
3. Muhammad Yamin
4. Radjiman Wedyodiningrat
5. Soepomo
6. Buntaran Martoatmodjo
7. Dan beberapa orang lagi.
Perdebatan ideologis-politis antara Faksi Muslim Nasionalis dan Faksi Nasionalis Netral Agama mengenai semua persoalan yang berkaitan dengan pendirian negara merdeka berjalan lancar, kecuali menyangkut masalah dasar negara.
Nah, ketika membahas persoalan tentang konsep dasar negara itu terjadi perdebatan dan pertentangan ideologis-politis antara dua faksi tersebut.
Dalam kapasitasnya sebagai ketua BPUPKI, Radjiman Wedyoningrat melontarkan pertanyaan penting kepada peserta sidang,
"Apakah dasar filosofis yang akan dipergunakan bagi Indonesia merdeka?"
Pada sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin -yang diduga sebagai orang pertama yang menyampaikan konsep Pancsila- menyampaikan pidato dan menawarkan "lima sila" yang digunakan sebagai dasar negara, yaitu:
1. Perikebangsaan
2. Perikemanusiaan
3. Periketuhanan
4. Perikerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat.
*(Lihat, M. Yamin: Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Vol. I, hal. 87-107)
Selanjutnya, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya yang sangat panjang dan tanpa teks di muka sidang BPUPKI. Soekarno yang mewakili Faksi Nasional mengusulkan "lima sila" atau "lima dasar" yang ia namakan Pancasila.
Tentang asal usul nama Pancasila, Soekarno mengakui bahwa nama itu diperoleh dari seorang temannya yang ahli bahasa yang kemudian diketahui ia adalah Muhammad Yamin.
Tentang asal usul Pancasila ini, Soekarno mengatakan: "Namanya bukan Panca Darma, tetapi -saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya adalah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi."
Demikian Soekarno mengusulkan tentang asal usul nama Pancasila itu. Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno pada sidang BPUPKI itu terdiri dari:
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan;
3. Mufakat atau demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan.
Jadi, jelas bahwa istilah Pancasila merupakan ide besar dari Soekarno, lantas mengapa yang katanya dari penerus pemikirannya, justru ingin mereduksinya menjadi "Trisila" atau "Ekasila"?
Meskipun ada kemiripan antara konsep Muhammad Yamin dan Soekarno dalam konsep Pancasila dan terlepas dari konflik dan polemik siapakah yang lebih dahulu mengusulkan rumusan Pancasila, namun perlu menjadi catatan sejarah bahwa rumusan yang telah disepakati oleh Founding Father kita dahulu final menyatakan istilah Pancasila, bukan Trisila, apalagi Ekasila.
Menurut pandangan saya, upaya mewacanakan kembali penafsiran atau pentakwilan atas Pancasila yang ketika "diperas" menjadi "Trisila" atau "Ekasila" merupakan upaya Hermeneutika untuk membongkar pasang bangunan ideologi sejarah bangsa yang telah mapan dibangun oleh para pendirinya.
Tidak ada yang penting dan signifikan dari usulan itu, selain hanya akan menguras energi anak bangsa.
Alih-alih, kita yang sedang berada di tengah kondisi wabah pandemik ini, apalagi juga pada kondisi goncangan ekonomi yang kian memprihatinkan ini, ada baiknya lebih baik memikirkan nasib bangsa ini, perbaiki ekonomi, selesaikan persoalan Covid-19 hingga tuntas. Itu baru tugas wakil rakyat.
Kita semua telah sepakat dan menyepakati tentang dasar ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup bernegara serta sebagai wadah pemersatu bangsa.
Jangan kemudian, alat pemersatu ini diotak-atik, dibongkar pasang, terlebih ada kepentingan politik atau ideologi tertentu dibaliknya dan justru akan memicu percikan-percikan keretakan berbangsa dan bernegara.
Lebih-lebih, upaya untuk menggantikan ideologi Pancasila ini telah kita lihat fakta sejarah kelam peristiwa PKI di tahun 1948 dan 1965 yang cukup menjadi trauma kolektif anak bangsa yang tidak perlu lagi ada upaya untuk mengingatkan kembali luka lama itu.
Secara kajian Hermeneutika, hasil tafsiran berupa "Trisila" atau "Ekasila" itu tidak dapat mewakili bagian utuh dari Pancasila, bahkan justru ada upaya mereduksi dari konsep hakikat Pancasila tersebut.
Bayangkan dari Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan hanya menjadi sebatas Nasionalisme, Demokrasi dan Ketuhanan yang Berbudaya.
Apalagi, jika kemudian diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong, lantas dimana nilai dasar Ketuhanan yang menjadi pilar dan pondasi dasar berdirinya Republik ini?
Ingat, jangan dilupakan Republik ini juga dipenuhi genangan darah pejuang, ulama, santri serta pekikan takbir.
"Allahu Akbar.. Allahu Akbar!!"
Nah, bahkan hal yang paling kentara terbukti pada point terakhir dengan istilah "Ketuhanan yang Berkebudayaan atau Berkeadaban".
Apa yang dimaksud point ini, bukan sekedar menafsir ulang teks yang sudah ada, namun justru melahirkan teks baru.
Darimana asal muasal kata "Berkebudayaan itu" dimunculkan, jika justru menghilangkan atau mengubah esensi terpenting dari kata "Keesaan"? Apakah kata "Esa" bisa dianulir dengan kata "Budaya?!"
Di sinilah letak "Fallacy Logic" atau kesalahan berpikir dari sudut pandang kajian Hermeneutika itu sendiri, sebab dia bukan lagi berupa menafsir atau mentakwil, namun justru mereduksi bahkan menganulir teks utama, yaitu Pancasila itu sendiri.
Apakah ada upaya menggeser nilai-nilai ketuhanan di dalam ideologi bangsa dengan nilai-nilai kebudayaan? Hal itu sudah saya jawab dalam kajian semantik.
Untuk lebih jelasnya, bagaimana analisa tentang "Ketuhanan yang Berkebudayaan", silahkan merujuk pada tulisan saya sebelumnya yang saya tuliskan kemarin di status FB saya.
Semoga bermanfaat dan mencerahkan generasi bangsa. Amin ya Rabb alamien.
COMMENTS