Kabarnya para ABK Indonesia bekerja disana lebih dari 18 jam sehari dengan asupan gizi tak tercukupi. Para ABK itu mengaku bekerja berdiri selama 30 jam dalam sehari. Mereka juga menyebut ada diskriminasi yang diterima ABK WNI.
Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P (Pemerhati Sosial)
Untung tak dapat diraih, sial tak dapat ditolak. Sangat disayangkan nasib para ABK yang bekerja puluhan kilometer di laut lepas. Hendak menjemput rezeki ke negeri orang justru merenggang nyawa tanpa ada kepastian.
Berita dari korea yang berkaitan dengan nasib warga Indonesia yang menjadi ABK di Cina dalam unggahan sebuah video membuat kaget netizen. Video tersebut sempat viral karena cukup mengiris kalbu. Bagaimana tidak, warga Indonesia yang merupakan ABK (anak buah kapal) dikabarkan meninggal dan di larung di tengah lautan. Bukan hanya sampai disitu saja kejadian yang membuat pilu.
Kabarnya para ABK Indonesia bekerja disana lebih dari 18 jam sehari dengan asupan gizi tak tercukupi. Para ABK itu mengaku bekerja berdiri selama 30 jam dalam sehari. Mereka juga menyebut ada diskriminasi yang diterima ABK WNI.
Di kapal tersebut, ABK China meminum air botolan dari darat, sementara para WNI minum air laut yang disuling, hal itu menambah buruk kondisi kesehatan mereka. Untuk pekerjaan di lautan selama 13 bulan, lima orang ABK WNI di kapal tersebut mengaku hanya menerima USD 120 atau Rp 1,8 juta. Tak seberapa upah yang diperoleh namun nyawa jadi taruhan mereka.
Lahir Perbudakan Modern
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai kejadian meninggal dan dilarungnya empat anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal berbendera China dan adanya 14 ABK yang meminta bantuan hukum saat kapal berlabuh di Busan, Korea Selatan, sudah mengarah kepada perbudakan modern atau modern slavery.
Menurutnya dari enam elemen perbudakan modern, kasus yang menimpa para ABK ini terindikasi mempunyai tiga elemen diantaranya seperti buruh kontrak, pekerja paksa dan perdagangan manusia," ujar Sukamta, dalam keterangannya,
Berdasar perkiraan lembaga The Walk Free Foundation dalam The Global Slavery Index, pada tahun 2017 ada 40 juta orang yang alami perbudakan modern. (keponews.com)
Dirinya menambahkan melihat kejadian perbudakan modern ini biasanya melibatkan perusahaan pengerah tenaga kerja. Mereka memberikan promosi kerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi namun tidak pernah mendapatkan hak sebagaimana yang tertulis di perjanjian kerja. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mendaftar TKI tersebut mengaku sudah membayar uang jaminan hingga jutaan rupiah. (Gatra.Com)
Sampai sebegitu sulitkah kehidupan di negeri sendiri hingga harus mempertaruhkan nyawanya di negeri orang? Yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika berita ini tersebar, pemerintah Indonesia seakan tak peduli bahkan cenderung menutupi kasus ini. Hal ini nampak dari pernyataan pemerintah yang mengaku telah mengkonfirmasi kasus tersebut.
Masih dari sumber yang yang sama, menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual pada Kamis (7/5) mengatakan pemerintah Indonesia sudah menyampaikan nota diplomatik kepada Kemenlu China untuk mengklarifikasi pelarungan terhadap ABK tersebut. Pihak Kemenlu China bersikukuh pelarungan terhadap ABK asal Indonesia dilakukan sesuai ketentuan kelautan internasional.
Nyawa warga negara seakan tak berharga hingga keberadaannya pun hanya dipandang sebelah mata. Tidak takutkah para penguasa akan pertanggungjawabannya kelak di akhirat sebagai sebuah pengayom umat? Pelindung serta perisai yang harusnya senantiasa berada di garda terdepan menjamin kehidupan warga negara.
Kasus ini menjadi pembuka mata bahwa telah nyata peristiwa perbudakan manusia. Perbudakan yang sudah lama dihapuskan karena tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Namun nyatanya justru perbudakan melekat erat dengan kaum papa yang tiada berdaya dengan nasibnya.
Sebagaimana Wakil Ketua Fraksi PKS menuturkan kasus yang mengarah kepada perbudakan modern seperti ini ibarat gunung es, yang terlihatnya hanya sebagian kecilnya. Tak menutup kemungkinan diluar sana kasusnya jauh lebih banyak dan tragis.
Perbudakan Tak Kasat Mata
Ketika dihadapkan pada kasus ABK tadi banyak sebagian masyarakat yang kaget, sadar, dan merasa jengah. Tak terbayang jika hal demikia
n menimpa diri mereka atau keluarga terdekat. Sedih pasti dan merasa sangat dizolimi dengan kondisi ini.
Namun taukah kita bahwa ada perbudakan yang jauh lebih berbahaya. Perbudakan yang telah menggejala akut, lebih berbahaya dari perbudakan secara fisik yang dialami oleh para ABK tadi. Perbudakan yang telah menjadikan korbannya terbuai hingga tak sadar bahwa ia sedang diperbudak.
Perbudakan ini memang tak kasat mata, hanya mampu dirasakan oleh mereka yang sadar akan keberadaannya sebagai manusia. Manusia yang harusnya tunduk pada aturan illahiah. Manusia yang ridho dengan segala tuntutan sang pencipta Nya. Rela memalingkan nafsunya demi meraih ridho dan jannah-Nya.
Sejatinya manusia yang saat ini masih berpegang teguh pada sistem hidup bukan berasal dari-Nyalah yang layak disebut budak dunia. Perbudakan oleh sistem hidup saat inilah yang justru lebih berbahaya, perbudakan zaman now yang menjauhkan dia dari Rabb-Nya. Tak lagi murni akidahnya akibat masih percaya pada aturan yang dibuat manusia.
Dampaknya bukan hanya bisa memalingkan dia dari kehidupan kekal yakni akhirat. Melainkan juga teraniaya layaknya para ABK yang sudah nyata kasusnya di depan mata. Apalagi sebab perbudakan modern yang dialami ABK warga Indonesia saat ini jika bukan lantaran karena perbudakan oleh sistem sekuler yang tak manusiawi.
Semoga dengan makin terbukanya kasus yang merupakan dampak penerapan sistem ini, mampu membuka mata hati kita agar percaya bahwa tak layak kita genggam sistem hidup sekuler saat ini. Sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam yang telah terbukti mampu menyejahterakan dan membuat hati menjadi lapang.
Wallahu'alam bishowab.
COMMENTS