Bantuan Covid-19
Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si.
“Jangan jadikan bencana atau musibah ini menjadi pencitraan bagi Bapak, tolong sekali lagi pak, kami sebagai kepala desa seolah-olah diadu domba oleh kebijakan Bapak dengan warga kami sendiri.”
Ini adalah penggalan kalimat protes seorang kepala desa (Kades) Jalan Cagak, Kabuaten Subang, Indra Zainal Alim, dalam sebuah video yang baru-baru ini viral di masyarakat. (Detik.com 28/04)
Video berdurasi 3,38 menit tersebut berisikan kritik keras terhadap lemahnya kebijakan bansos. Dalam videonya, Indra mengingatkan Pemerintah pusat, Presiden Jokowi, Menteri Desa, dan khususnya Gubernur Ridwan Kamil untuk mematangkan kebijakan sebelum disampaikan pada publik. Pasalnya, setiap hari kebijakannya berubah-ubah, seperti negeri ini tak memiliki hierarki undang-undang.
Sebelumnya pun telah viral video serupa dari Bupati Boalang Mongondaw Timur, Sulawesi Utara, Sehan Landjar perihal mekanisme pemberian BLT yang menyulitkan warga. Prosesnya yang berbelit-belit dan tidak tepat sasaran telah membuatnya geram.
“Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp600.000, rakyat saya bahkan memohon untuk tidak dapat duit BLT,” jelas Sahat (detik.com 26/04/2020)
Buruknya pendataan dan semrautnya pengurusan taktis telah membuat kades dan bupati protes terbuka di media sosial. Protes tidak lagi dilayangkan melalui jalur birokrasi yang ada, dengan alasan agar aspirasinya cepat sampai ke pemerintahan provinsi bahkan pusat. Inilah potret buram kohesi struktur pemerintahan kita.
Seolah menjadi martir, pascaviralnya video-video yang berisikan aparatur negara memprotes kebijakan bansos yang buruk, puluhan kades dari Bogor pun melakukan protes ke kantor bupati untuk memperbaiki data penyaluran tiga sumber bansos.
“Kemarin kita protes (kantor bupati), terkait banpres, banprof, pemkab, termasuk dana desa. Jadi fakta di lapangan tidak seindah yang digembor-gemborkan, janji manis bantuan terdampak Covid-19 akan mendapatkan sekian. Faktanya, kan, masyarakat resah,” ucap Lukmanul Hakim selaku Bagian Bidang Pendidikan Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia). (kompas.com 26/04)
Polemik Kebijakan Bansos
Pada awalnya, respons publik terhadap kebijakan bansos yang diumumkan pemerintah cukup positif. Namun, segudang masalah dalam implementasinya telah membuat warga kecewa dan negatif. Padahal, janji manis yang digembor-gemborkan di media telah membuka harapan umat untuk bisa menjalani kondisi karantina ini dengan sedikit lebih ringan.
Bukan rezim Jokowi namanya jika kebijakan yang berhubungan dengan rakyat serius diurusi. Gagapnya pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 semakin membuktikan pada masyarakat perihal buruknya kepemimpinan dan tata kelola negeri ini. Instrumen yang dikeluarkan berupa kebijakan bansos dinilai kurang matang dalam pembuatannya.
Setidaknya ada tiga poin terkait polemik kebijakan bansos yang menjadi sorotan masyarakat:
Pertama, data. Data adalah hal krusial yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena akan berdampak pada ketepatan sasaran program tersebut.
Sayangnya, masalah klasik ini terus berulang, misal saja data yang dikeluhkan Kades jalan Cagak, Subang. Data yang langsung diambil dari RT/RW tidak digunakan. Pemerintah malah merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk diajukan ke Pemprov Jabar.
Perbedaan data tentu menimbulkan kegaduhan. Rakyat mempertanyakan mengapa yang mendapat bantuan tidak sesuai dengan yang telah didata RT/RW. Akhirnya, yang menjadi sasaran kemarahan rakyat adalah RT, RW, Kadus, dan Kades.
Sambil menahan lapar, mereka bergantung pada bantuan, namun yang dijanjikan tak kunjung datang. Inilah yang menyebabkan emosi meningkat. Baku hantam pun terjadi di beberapa desa.
Dilansir dari tribunjakarta.com, data yang dipakai Dinas Sosial Kabupaten Bogor adalah data tahun 2009, artinya data 11 tahun lalu. Padahal, data ter-update sudah diberikan kades.
Walhasil ada satu kecamatan dengan 7 Desa, yang memiliki 1.000 lebih data warga yang membutuhkan, namun yang mendapatkan hanya 300 sekian. Sisanya, 700 lebih warga harus gigit jari dan menahan lapar akibat buruknya data.
Sungguh cerminan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani wabah ini. Perbedaan data pun disinyalir sengaja. Akibat mengacu data lama, tentu jumlah penerima bansos lebih sedikit dari sekarang.
Inilah rezim pelit yang selalu hitung-hitungan dengan rakyat, tapi ramah dan memberi segalanya pada pengusaha, telah membuat rakyat sengsara semakin lama.
Kedua, syarat yang pelit dan berbelit. Syarat yang rumit pun membuat masyarakat sulit mengakses bantuan. Misal saja kriteria keluarga miskin penerima BLT berdasarkan peraturan Menteri Desa PDTT nomor 6 tahun 2020 yang dinilai keterlaluan. Terdapat 14 syarat yang kesemuanya dipertanyakan warga.
Berdasarkan putusan tersebut, warga yang berhak mendapatkan BLT adalah warga yang mempunyai rumah dengan luas lantai kurang dari delapan meter, lantainya harus tanah/bambu, dindingnya harus bambu/kayu murah/tempok tanpa plester, tidak punya fasilitas WC dalam rumahnya.
Selain itu harus tidak punya listrik, PAM, kompor gas alias pakai kayu bakar. Untuk sandangnya, hanya mampu membeli pakaian satu setel per tahun. Untuk pangan, hanya mampu makan 1-2 kali sehari dan tidak sanggup berobat ke Puskesmas.
Penghasilan tetap dibawah Rp600 ribu per bulan per KK, itu artinya Rp20 ribu per hari untuk satu keluarga. Pendidikan kepala keluarga tidak sekolah/SD, serta tidak memiliki tabungan/barang mudah dijual minimal 500 ribu.
Syarat dan ketentuan di atas dinilai keterlaluan. Apakah masyarakat harus semiskin itu agar bisa mendapatkan bantuan? Sedangkan pada saat yang sama, kemewahan dipertontonkan para pejabat dengan dalih mempermudah proses kinerjanya.
Wajar saja bupati jalan cagak geram saat syarat penerima BLT begitu rumit. Di sisi lain, warga dipertontonkan mewahnya kolam renang seharga 1,5 miliar yang dibangun di rumah dinas Gubernur, menggunakan dana anggaran daerah.
Ketiga, korupsi bansos. Di tengah warga yang menjerit kelaparan, bansos pun tak luput dari incaran para tikus berdasi. Dilansir dari Jabarsuara.com, diduga ada korupsi dana bantuan sosial atau bansos untuk orang miskin di Depok, Jawa Barat.
Dana yang seharusnya diterima penerima bansos sebesar Rp250.000, nyatanya setiap warga hanya mendapatkan Rp225.000. Sisanya Rp25.000 dikemanakan?
Korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar belukar di negeri ini. Jangankan di tingkat daerah, dugaan korupsi besar-besaran pun tengah dilayangkan pada pemerintah pusat, atas diterbitkannya perppu no 1 tahun 2020 terkait kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19. Bahkan Amien Rais mengatakan, potensi megakorupsi BLBI dan Century telah terlihat pada perppu tersebut.
Buruknya Kohesi Struktur Pemerintahan
Kinerja pemerintah pusat dan daerah cenderung jalan sendiri-sendiri. Tiap departemen pun seolah tak peduli dengan departemen lain. Lihat saja bagaimana departemen kesehatan yang sedang teriak-teriak kekurangan APD (Alat Pelindung Diri). Pada saat yang sama, Sri Mulyani sebagai menteri keuangan menegaskan bahwa ekspor APD tetap jalan.
Artinya di sini, secara struktural pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Tumpang tindihnya kebijakan yang dikeluarkan adalah akibat tidak adanya koordinasi, sinkronisasi, dan keselarasan di setiap jenjang pengambil keputusan.
Protesnya para kades di jejaring sosial bukan tanpa sebab. Kemarahan dan kekecewaan yang memuncak terhadap kebijakan pusat dan daerah yang tumpang tindih telah melahirkan permasalahan baru. Mereka lebih memilih protes ilegal daripada menghadap langsung pada atasan dan sesuai birokrasi yang ada.
Hal demikian jika tidak disikapi dengan cepat akan menjadi bibit-bibit perpecahan. Jika pusat terus-menerus tak memedulikan daerah, dampak terburuknya adalah disintegrasi. Karena kepercayaan penguasa daerah pada pusat telah dikebiri oleh kebijakannya sendiri.
Polemik kebijakan bansos saat ini sebenarnya bukan hanya berbicara persoalan teknis kesalahan data dan tumpang tindihnya kebijakan yang ada. Hal demikian lebih besar disebabkan corak pemerintahan kita yang berideologikan kapitalisme, yang pada gilirannya menganggap bahwa model negara korporatokrasilah yang ideal diemban negara ini. Yaitu sebuah model negara yang menyerahkan seluruh urusannya pada swasta.
Lihat saja alokasi dana yang dikucurkan pemerintah untuk bantuan sosial ini, tidak sebanding dengan kucuran dana pada para pengusaha. Bail out pada bank swasta jika terkena dampak dan suntikan dana pada pengusaha yang tertuang dalam perpu no 1 tahun 2020.
Dalam perppu no 1 tahun 2020 tersebut, Jokowi mengumumkan tambahan anggaran penanganan virus corona Rp405,1 triliun. Dengan rincian Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk social safety net atau jaring pengaman sosial. Kemudian Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (liputan6.com 01/04)
Bayangkan, alokasi pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan lebih besar hampir dua kali lipat dari jaring pengaman sosial. Belum lagi dalam jaring pengaman sosial tidak semua disalurkan pada kebutuhan pokok rakyat. Ada program kartu prakerja sebesar 5,6 T yang sebagian besarnya masuk ke kantong pengusaha. Semua itu adalah kebijakan yang lahir dari sudut pandang sistem kenegaraan yang bercorak kapitalistik.
Watak korup para pejabatnya pun menjadikan wabah ini sebagai ajang perampokan uang negara. Terlihat dari perppu no 1 tahun 2020 yang meniscayakan terciptanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara yang tertuang pada pasal 27. Bancakan korupsi dalam kondisi pandemi sungguh terjadi di negeri yang kehilangan empati.
Oleh karena itu, wajar akhirnya ketidakpercayaan dan gelombang protes terus muncul dari berbagai kalangan. Rakyat menganggap pemerintah pelit dan tidak serius mengurusi kebutuhan rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah bersikap murah hati pada para konglomerat.
Inilah rezim yang lahir dari sistem kapitalistik dan rezim ini pulalah yang menjaga agar sistem busuk ini terus bercokol di negeri ini.
Islam Bertanggung Jawab terhadap Seluruh Kebutuhan Warganya
Berbeda dengan sistem pemerintahan bercorak kapitalisme, sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang berfokus pada kemaslahatan umat. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan umat tanpa menimbulkan permasalahan baru.
Karena sesungguhnya, para pemimpin dalam Islam memahami bahwa keberadaannya di pemerintahan adalah semata untuk beribadah kepada Allah swt. Mereka takut akan azab Allah swt. bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya. Apalagi menjadikan amanahnya sebagai jalan tol perburuan rentenya.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Rasulullah menjawab, Laknat Allah.” (HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).
Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal demikian adalah hak rakyat yang harus dipenuhi negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Sesungguhnya, sebaik-baik teladan adalah Rasul dan para sahabatnya. Dalam permasalahan penanganan wabah, kita bisa meneladaninya dari Khalifah Umar bin Khaththab.
Dikisahkan dalam buku The Great Leader of Umar bin Khaththab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, bahwa pada 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat. Makanan sungguh sulit didapatkan.
Langkah awal Umar saat itu adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis. Ia dan keluarganya selalu berhemat dan hidup sederhana, agar beliau bisa merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya.
Teladan ini telah membawa pejabat di bawahnya mengikuti langkah beliau. Perilaku ini berbanding terbalik dengan pejabat di sistem saat ini yang boros dan bermewah-mewahan.
Setelah itu, dengan kecerdasan dan kepekaan perasaannya, Khalifah Umar langsung membuat keputusan, lalu mengatur dan mengelola seluruh struktur pemerintahan di bawahnya, sehingga bisa cepat, sigap, dan tuntas dalam memenuhi kebutuhan umat saat krisis.
Beliau mengerahkan seluruh struktur dan perangkat negara untuk membantu masyarakat yang terdampak. Para pejabat pun dengan sigapnya merespons hal tersebut, seperti yang dilakukan Wali Mesir, Amr bin Ash.
Khalifah Umar melayangkan surat kepada wali Mesir, Amr bin ‘Ash, yang memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk mengirimkan pasokan makanan ke Madinah. Menanggapi surat tersebut Amr bin ‘Ash menuliskan,
“Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir), dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut.”
Perkataan Amr bin ‘Ash direalisasikannya saat itu juga. Cepatnya respons Amr bin ‘Ash terhadap perintah Khalifah Umar, merupakan bukti keharmonisan pemerintah pusat dan daerah.
Begitu pun kecintaan Umar pada rakyatnya, terwujud berupa kebijakan yang menyelesaikan seluruh hajat umat, yang dibalas dengan doa terbaik seluruh rakyatnya untuk Sang Khalifah.
Hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah berlangsung harmonis, dan antardepartemen begitu sinergis. Banyaknya penguasa yang dalam benaknya selalu memikirkan kondisi umat, adalah kondisi saat sistem Islam menjadi arah pandang negaranya.
Begitulah, saat Islam menjadi ideologi negara, semua penguasa akan berpandangan sama, yaitu keberadaan mereka semata untuk umat. Tidak seperti saat ini yang menjadikan kepentingan pribadi dan golongan sebagai asas mereka bekerja. [MNews]
COMMENTS