Rumah sakit era khilafah
Oleh. Mustaqimatin
Pada masa pandemik Corona, masyarakat sangat merasakan perlunya sebuah sistem kesehatan yang baik. Salah satunya keberadaan rumah sakit yang memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Betapa tidak, pandemik ini mengakibatkan banyak orang terinfeksi virus dan membutuhkan rumah sakit yang mampu melakukan perawatan medis secara khusus, serta perlu ruangan ruangan isolasi.
Sejumlah peralatan medis, terutama ventilator sangat dibutuhkan untuk penanganan pasien terinfeksi. Tenaga medis perlu APD (Alat Pelindung Diri) yang benar benar aman untuk melindunginya saat bertugas. Obat obatan yang sudah teruji klinis sangat dibutuhkan untuk menolong pasien selain harus dipastikan ketersediaannya. Begitu juga vaksin untuk pencegahan sangat ditunggu di masyarakat.
Saat ini, obat dan vaksin masih terus diteliti. Sejumlah peralatan test yang efektif dan kesiapan laboratorium juga sangat dibutuhkan untuk memastikan seseorang positif terinfeksi virus atau tidak, hingga bisa diberi perlakuan yang tepat. Alat-alat test deteksi infeksi juga terus dikembangkan agar semakin cepat dan akurat.
Semua hal itu, meniscayakan bahwa sebenarnya Rumah Sakit bukan hanya menjadi harapan orang sebagai wasilah untuk menyembuhkan penyakit, tapi juga berperan sebagai tempat pendidikan, penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran hingga melakukan inovasi inovasi cara pengobatan yang lebih efektif, penemuan dan pengujian obat obatan secara klinis yang dibutuhkan pasien serta penemuan lain di bidang kesehatan.
Mungkinkah umat ini memilikinya? Sangat mungkin! Karena gambaran ini sudah pernah disaksikan pada masa keemasan Islam. Setiap ibu kota pemerintahan Islam berdiri rumah sakit besar. Selain berfungsi sebagai tempat merawat orang-orang sakit, ia menjadi tempat bagi para dokter untuk mengajar mahasiswa, tempat pertukaran ilmu kedokteran dan sarana mengembangkan ilmu medisnya.
Rumah sakit yang pada masa itu disebut Bimaristan, bukan hanya berfungsi sebagai pengobatan dan perawatan, akan tetapi juga sebagai laboratorium penelitian dan sekolah kedokteran yang melahirkan dokter-dokter Islam. Beberapa rumah sakit juga mempunyai perpustakaan besar yang berisi buku-buku farmakologi, anatomi, fisiologi, dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan bidang kedokteran.
Diantara rumah sakit pada masa kekhilafahan yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah Rumah Sakit Al-Nuri. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit yang pertama kali dibangun umat Islam. Ia didirikan pada tahun 706 M oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Al-Malik dari Dinasti Umayyah.
Saat kepemimpinan Khalifah Nuruddin Zinki pada tahun 1156 M, rumah sakit ini diperluas dan diperbesar. Ia dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawat yang profesional. Rumah sakit ini yang pertama kali menerapkan rekam medis (medical record). Khalifah juga membuka sekolah kedokteran di rumah sakit tersebut. Untuk memajukan sekolah, khalifah menghibahkan perpustakaan pribadinya.
Karena rumah sakit dan sekolah berada dalam satu lokasi, para dokter sekaligus berprofesi sebagai pengajar.
Biasanya, ketika seorang dokter memeriksa berbagai kasus, ia ditemani beberapa siswa. Sambil mencatat hasil pemeriksaan dan obat-obatan yang diresepkan, siswa diminta mengamati dan belajar. Kemudian dokter tersebut ke aula besar untuk mengajar mahasiswa dengan menjelaskan dan menjawab pertanyaan mereka. Materi dalam sesi pelajaran tersebut menjadi bahan tes di akhir setiap masa pendidikan. Dan hasil dari tes itu seorang atau beberapa siswa direkomendasikan menjadi dokter. Lulusan dari sekolah tersebut lahir sederet dokter terkemuka. Salah satunya Ibn Al-Nafis yang dikenal sebagai penemu sirkulasi paru-paru.
Rumah Sakit Bagdad, adalah RS penting lainnya yang dibangun umat Islam ketika Khalifah Harun Al-Rashid berkuasa. Sama dengan rumah sakit al-Nuri, rumah sakit ini sangat memperhatikan kualitas layanan dan ketaatan yang kuat terhadap penggunaan obat-obat yang teruji secara ilmiah. Dengan kata lain, hanya obat yang telah teruji secara klinis yang diberikan kepada pasien.
Salah satu pemimpin rumah sakit ini adalah Al-Razi, ahli penyakit dalam termasyhur. Al-Razi menulis banyak buku tentang kedokteran. Salah satunya bertajuk al-Mansuri. Dalam buku ini ia membahas tiga aspek penting dalam kedokteran, yaitu kesehatan masyarakat, pengobatan preventif, dan penanganan penyakit-penyakit khusus. Buku-buku al-Razi banyak menjadi rujukan dan dipelajari di sekolah-sekolah kedokteran, termasuk di negara-negara Barat.
Lain lagi dengan Rumah Sakit Ahmad ibn Tulun. Rumah sakit ini merupakan yang pertama di Kairo yang didirkan pada tahun 872-874 oleh Sultan Ahmad ibn Tulun. Rumah sakit ini juga memiliki akademi kedokteran dan perpustakaan yang kaya literatur medis. Buku yang ada di perpustakaan lebih dari seratus ribu buku Pada jamannya, ia telah memiliki manajemen perawatan yang modern dan spesifik, bahkan lebih maju di masanya.
Sekolah kedokteran pada masa kekhilafahan bukan hanya diselenggarakan di Rumah Sakit. Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam adalah sekolah Jindi Shapur di Baghdad. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu.
Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.
Sungguh sejarah telah mencatat bahwa keberadaan rumah sakit pada masa pemerintahan Islam bukan hanya untuk pelayanan kesehatan tapi juga tempat pendidikan dan penelitian. Ini menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah peradaban yang tinggi.
Sebagai pelayanan kesehatan, rumah sakit pada masa Islam, terkenal dengan manajemen, pelayanan dan fasilitas pengobatan yang sangat luar biasa dan semua itu bisa diakses rakyat dengan gratis. Sehingga kebutuhan kesehatan rakyat terpenuhi. Sebagai tempat pendidikan, ilmu kedokteran di dunia Islam telah menjadi rujukan di seluruh dunia bahkan hingga sekarang. Ini bisa dilihat dari buku buku, tulisan, penemuan ilmuwan kedokteran muslim pada masa tersebut.
Penerapan syariah kaffah dalam naungan Daulah Khilafah telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu kedokteran di. Sementara saat ini, ketiadaan khilafah telah membuat keterpurukan umat dan dikuasai oleh umat lain. Penguasaan ilmu teknologi jauh dari tangan kaum muslimin. Pelayanan kesehatan di negeri negeri muslim belum memadai dan tidak terjangkau oleh semua rakyat. Justru kaum muslimin tergantung dengan negara besar kapital dalam masalah kesehatan. Padahal, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi manusia.
Inilah yang disayangkan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata:
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” Beliau juga berkata mengenai pentingnya ilmu kedokteran, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.
“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita”Karenanya, menjadi tugas seluruh umat Islam mengembalikan kejayaan Islam, mewujudkan peradaban emas Islam dengan tegaknya Daulah Khilafah atas dasar kenabian.
COMMENTS