Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani
Oleh : KH Hafidz Abdurrahman
Siapa yang tidak mengenal nama al-'Allamah al-Qadhi Yusuf an-Nabhani? Keilmuan, dedikasi dan kedudukannya dalam membela Islam dan Khilafah di zaman Khilafah Utsmani tak diragukan lagi.
Beliau adalah tokoh yang berhadapan dengan Muhammad Abduh, yang kala itu dianggap pro Barat. Kalau ingin tahu banyak tentang sosok Abduh yang sebenarnya, silahkan baca disertasi (tesis) Dr. Muwafaq Bani Marjeh, "Shahwatu ar-Rajuli al-Maridh".
Kedudukan, kesadaran dan dedikasi kakeknya inilah yang membawa Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani kecil, yang sudah tampak kecerdasannya, di majelis-majelis beliau. Beliau pula yang meminta ayahnya untuk mengirim an-Nabhani muda ke Mesir, untuk belajar di Ma'had al-Azhar, kemudian melanjutkan ke al-Azhar dan Darul Ulum.
Beliau di Mesir sezaman dengan Syaikh Abdullah Shiddiq al-Ghumari, yang juga sama-sama belajar kepada Syaikh Hudhair Husein. Kakek beliau jugalah yang menbiayai semua kebutuhan beliau selama di Mesir.
Saya mendengar penuturan murid dan tangan kanan beliau, bahwa selama di Mesir, beliau mempunyai pelayan, yang melayani semua kebutuhan beliau. Mulai dari menyiapkan makanan, mencuci dan menyiapkan pakaiannya.
Karena itu, selama di Mesir, beliau yang memang mempunyai kecerdasan luar biasa itu waktunya dihabiskan untuk mengikuti talaqqi, membaca, menulis dan berdiskusi. Beliau tidak banyak bicara, kata Syaikh as-Sya'rawi, tapi kalau bicara seperti mutiara.
Maka, masih menurut murid beliau, ketika di Mesir beliau sudah menghabiskan 25,000 kitab. Menjelang wafatnya, putra beliau menuturkan, tidak kurang dari 30,000 kitab. Bahkan, di dalam kondisi sulit sekalipun, setiap hari beliau masih bisa mengkhatamkan 1 buku.
Kekuatannya membaca, menelaah dan menghapal tampak pada tulisan beliau yang luar biasa. Banyak kitab yang ditulis hanya dalam waktu singkat. Kitab Mafahim hanya ditulis dalam 3 jam. Kitab Syakhshiyyah Juz III hanya ditulis dalam waktu 3 hari. Subhanallah.
Beliau benar-benar pemikir, mujtahid mutlak, politikus ulung dan pemimpin umat yang pilih tanding. Pengaruhnya begitu luar biasa, bukan saja semasa hidupnya, tetapi setelah beliau wafat.
Beliau bukan saja menjadi lulusan al-Azhar terbaik, bahkan menjadi kebanggan rakyat Palestina. Karena itu, kelulusannya telah menjadi headline di Koran Palestina saat itu.
Sahabat beliau, Syaikh Abdul Qadim Zallum, adalah juga alumni al-Azhar. Beliau ketika itu menjadi salah satu Syaikh di al-Azhar.
Di tangan beliau, tradisi talaqqi di al-Azhar dibawa ke jamaah yang kemudian dibentuk setelah kembali ke Palestina. Talaqqi yang kemudian menjadi ruh kebangkitan kader-kader binaannya itu disempurnakan. Tidak sekedar murid/daris membaca di depan syaikh/musyrif, tetapi satu per satu alenia yang ditalaqqikan itu pemikirannya dijelaskan dan diturunkan ke dalam fakta, yang bisa ditunjuk dengan jari.
Itulah yang menjadikan akliyah murid/darisnya begitu kuat, melekat dan susah dihapus, karena apa yang dipelajari sudah menjadi pemahaman. Apa yang dipahami sudah berubah menjadi keyakinan. Kemudian, keyakinan itu mendorongnya untuk menerapkan.
Itulah talaqqi fikriyyan yang menjadi ruh kebangkitan murid dan kader-kadernya.
(Bersambung)
COMMENTS