Wahyudi al Maroky (Dir. Pamong Institute)
Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. Pamong Institute)
Akhir Januari ini Penulis diundang diskusi dengan para pemuda dan mahasiswa UIN Jakarta. Tema yang dibahas pun sangat hangat dan menarik. Ya, kami membahas “Mengapa Mega Korupsi terus Terjadi? (Jiwasraya, Asabri, BLBI, Century, dll).
Di awal diskusi, penulis menantang para pemuda itu untuk berfikir.
Jika tiba-tiba di depan gerbang UIN itu terjadi kecelakaan lalulintas, tabrakan. Bagaimana tindakan kita?
Tentu kita akan menolong korban bukan? Jika parah perlu dikirim ke RS. Selanjutnya membantu mengatur lalulintas agar tak macet. Selesai sudah tugas kita. Benar begitu? Para peserta pun menjawab setuju.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika setiap pagi atau dua hari sekali terjadi tabrakan di depan gerbang UIN? Apakah itu bisa dikatakan kecelakaan biasa? Apakah tindakan kita seperti kasus pertama? Menolong korban dan mengatur lalulintas agar tak macet? Apakah setiap hari harus begitu?
Untuk menjawabnya, tak perlu Mahasiswa dengan tingkat kecerdasan tinggi. Semua pun bisa menjawab bahwa itu bukan kecelakaan biasa tapi sudah sistemik dan periodik. Untuk menghentikannya harus ada kebijakan radikal yg menyeluruh dan sistemik. Harus ada perubahan pengaturan sistem lalulintas dan lainnya.
Berikutnya penulis memberikan pertanyaan yang senada dengan kasus pertama. Bagaimana jika di suatu negeri ada satu Anggota DPR yang tertangkap melakukan Korupsi?
Jawabnya mudah, cukup serahkan aparat penegak hukum untuk diproses dan dihukum. Selesailah urusan.
Tapi bagaimana jika yang tertangkap Korupsi itu tiap 1 atau 2 hari sekali? Apakah ini sistemik atau kecelakaan saja? Penulis menampilkan data Kompas, selama tahun 2018 KPK menangkap 220 anggota DRP/DPRD, artinya rata-rata tiap 2 hari sekali ada anggota Dewan yang tertangkap Korupsi.
Bahkan ada satu Kota yang Anggota Dewan nya ditangkap secara bersamaan sekaligus. Di sisi lain, kepala daerah pun selama tahun 2018 ada 29 Kepala daerah yang tertangkap. Artinya tiap 2minggu sekali ada yang tertangkap.
Belum lagi kalau kita ungkap data ASN yg terlibat korupsi. Sampai bulan juli 2019, sudahbada 3.240 ASN yg dipecat karena korupsi. Para mahasiswa pun terheran kenapa begitu banyak yang tertangkap?
Menyimak data tersebut, mereka pun memahami jika masalah korupsi bukan soal kecelakaan atau kenakalan individu pejabat saja.
Jika setahun hanya ada 1 atau 2 orang yang tertangkap korupsi mungkin itu bisa dibilang kecelakaan dan masalah kenakalan individu.
Namun jika setahun ada 220 orang yang tertangkap korupsi, artinya ini tiap dua hari sekali ada yang tertangkap korupsi. Ini bukan masalah kecelakaan. Bukan pula soal kenakalan invividu anggota dewan maupun individu Kepala Daerah. Ini sudah sistemik.
Untuk menghentikan praktek korupsi yang begitu masif dan sistemik itu harus dilakukan kebijakan yang sestemik pula. Tak cukup hanya mengganti aparat penegak hukum. Tak cukup pula sekedar menangkap pejabat yang korupsi itu.
Harus ada upaya serius dan sistemik mulai dari perangkat hukum, aparat penegak hukum, juga para pejabat publik yang rentan terpapar korupsi. Tak ketinggalan pula sistem lingkungan dan budaya masyarakat serta partisipasi publik. dan hal terpenting adalah memutus generasi pelaku korupsi. Oleh karenanya diperlukan generasi muda kini yang tak terpapar korupsi.
Menjaga generasi muda agar tak terpapar korupsi bukanlah perkerjaan mudah. Apalagi dalam sistem demokrasi kini, hampir semua lini sudah terpapar korupsi. Bahkan nyaris tak ada lagi lembaga pemerintahan yang benar bersih dan tak terpapar korupsi.
Lembaga eksekutif, legislatif dan Yudikatif semua sudah pernah ada oknum yang tertangkap korupsi. Bahkan benteng konstitusi pun pimpinannya tertangkap korupsi. masih segar ingatkan kita ketika Ketua MK ditangkap KPK dan jadi penghuni hotel prodio.
Tak berlebihan jika dikatakan tak ada lagi institusi yang tak terpapar korupsi.
Untuk menjaga generasi muda agar tak terpapar korupsi setidaknya bisa dilakukan tiga cara diantaranya:
PERTAMA, menjaga para pemuda dan mahasiswa agar tak terpapar para politisi demokrasi saat ini yang patut diduga banyak terpapar korupsi. Jika para pemuda banyak berinteraksi dengan para politisi saat ini maka sulit untuk memutus rantai praktek korupsi.
KEDUA, menjaga Kampus agar tak terpapar kepentingan politik praktis. Jika kampus sudah ikut dukung-mendukung calon penguasa termasuk mendukung rezim yang bertarung dalam pemilu maka dipastikan kampus akan kehilangan obyektifitasnya. Kampus tak lagi menjadi lembaga yang meruhanikan ilmu. Bahkan bisa terseret jadi legitimasi kepentingan politik tertentu. Selanjutnya mahasiswa kampus itu jadi rentan di ajak dukung mendukung para politisi yang saat ini patut diduga banyak politisi yang terpapar korupsi.
KETIGA, Menjaga Ormas Kepemudaan agar tak terpapar politik praktis saat ini. jika ormas sudah ikut dukung mendukung para politisi yang diduga terpapar korupsi maka ormas kepemudaan juga jadi rentan terpapar korupsi.
Pertanyaan berikutnya, mungkinkah dalam sistem demokrasi kini, para generasi muda bisa terjaga dari interaksi yang membuat mereka terpapar korupsi?
Jika negeri ini mau membersihkan praktek korupsi maka harus berani memutus interaksi para generasi muda dari pengaruh buruk praktek korupsi yang sudah merambah kesemua lini kehidupan di negeri ini. Apakah bisa? Harus bisa jika sungguh berniat memutus rantai korupsi. Semoga...
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
COMMENTS