Ideologi Kufur Kapitalisme
Oleh Siti Rima Sarinah
Kampus sebagai salah satu pencetak intelektual kini mengalami penurunan fungsi. Era globalisasi menuntut beberapa kampus di Indonesia merubah statusnya menjadi kampus otonom. Kampus yang sejatinya adalah tempat dimana para intelektual mendapatkan pendidikan berkualitas dan melakukan riset yang bermanfaat untuk membangun peradaban bangsa, berubah menjadi sarana bisnis untuk menghasilkan profit besar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengeluarkan kebijakan program terkait perguruan tinggi yang bertajuk “Kampus Merdeka”. Program ini merupakan kelanjutan dari program sebelumnya dengan konsep “Merdeka Belajar”. Alasan dikeluarkan program kampus merdeka, karena perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak cepat dan dekat dengan dunia kerja. Program kampus merdeka meliputi, kemudahan membuka program studi, perubahan sistem akreditasi kampus, kemudahan status kampus menjadi badan hukum dan mahasiswa bisa magang 3 semester.
https://nasional.tempo.co/read/1299247/nadiem-makarim-luncurkan-4-kebijakan-kampus-merdeka-apa-saja?page_num=2
Tren komersialisasi kampus memang dimulai jauh sebelum Nadiem Makarim menjadi Mendikbud. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi menjadi tonggak perubahan status universitas menjadi badan hukum otonom yang harus mencari dana untuk membiayai dirinya sendiri. Di tambah kebijakan kampus merdeka oleh Mendikbud makin menyempurnakan adanya liberalisasi kampus dan menunjukkan bahwa perguruan tinggi hanya dijadikan pusat pelatihan buruh. Di samping itu kebijakan kampus merdeka, menjadi ajang bisnis dengan memberi peluang kerjasama dari perusahaan-perusahaan multinasional sampai organisasi dunia berlomba-lomba ikut serta dalam penyusunan kurikulum untuk program studi (prodi) sesuai keinginan pasar.
Berbagai kebijakan yang telah di keluarkan berkaitan dengan perguruan tinggi adalah bukti betapa buruknya sistem pendidikan yang diterapkan saat ini akibat penerapan kapitalisasi pendidikan, ditambah peran negara hanya sebagai regulator dan pengabaian tanggung jawabnya dalam pendidikan. Sehingga kampus kesulitan masalah pendanaan, dan berusaha mandiri mencari sumber dana dari buku bisnis hingga menaikkan biaya pendidikan yang membuat pendidikan jadi benar-benar komersialisasi yang berprinsip untung rugi. Walhasil perguruan tinggi hanya bisa diakses oleh segelintir rakyat ber’uang.
Adanya komersialisasi pendidikan inilah yang menyesatkan orientasi perguruan tinggi dari tempat para intelektual mendapatkan pendidikan berkualitas untuk membangun peradaban bangsa beralih menjadi hanya sebagai mesin pencetak tenaga terampil bagi kepentingan industri/ kapitalis. Hal ini membuat semakin menguatnya kolonialisasi di Indonesia dengan kebijakan ekonomi kapitalistik dengan merancang dunia pendidikan yang menjadi modus utama integrasi pendidikan dengan pasar global, yang tidak bisa dilepaskan dari peran intelektual didikan barat dalam rangka mengokohkan sistem sekuler ini.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menjamin kualitas pendidikan tinggi, yang memotivasi setiap orang untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral dan kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik. Penguasaan tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan di butuhkan seorang intelektual untuk dapat menyelesaikan maslah yang dihadapinya baik itu masalah pribadi, keluarga, masyarakat sampai masalah negara. Sistem pendidikan yang Islami mampu menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan ahli di bidangnya, dan keberadaannya wajib kifayah dengan jumlah yang di butuhkan masyarakat.
Negara (Khilafah) memberikan fasilitas sarana dan prasana berupa jaminan pendidikan dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi, yang di perlukan bagi para intektual dalam pencarian ilmu dengan memberikan sejumlah motivasi dan guideline agar selalu berjalan dalam rambu-rambu hukum syara. Penggunaan teknologi untuk memanusiakan manusia bukan untuk memperbudaknya dan menjajah negara-negara lain. Adapun kebijakan riset menjadi domain individu ilmuwan muslim untuk memberi teladan melalui produkrivitas risetnya dan mendukung kiprah para ilmuwan muslim berikut penghargaannya, sebagai sebuah kebijakan menciptakan atmosfer keberlangsungan profesi ilmiah.
Sejarah ilmu pengetahuan telah mencatat bahwa dunia Islam pernah mencapai penguasaan gemilang di bidang sains dan teknologi. Sederet nama ilmuwan masyhur seperti IbnBatuta (ahli geografi), A Razi (Pediatrik), Ibnu Sina (kedokteran), Ibn Haytham (fisika-optik) dan masih banyak lagi yang lainnya. Kecemerlangan ini dapat diperoleh ketika Islam tidak dianggap sekedar agama ritual namun di terapkan secara menyeluruh (kaffah).
Walhasil jelaslah sistem kapitalisme dengan liberalismenya dalam mengkooptasinya ilmu dan karya intelektualnya. Sudah saatnya Syariah dan Khilafah menjadi mainstream pergerakan mahasiswa untuk menyelamatkan pendidikan tinggi dan intelektual.
Sumber; : https://t.me/WadahAspirasiMuslimah
COMMENTS