Ahmad Khozinudin, SH | Ketua LBH Pelita Umat
[Koreksi Tajam Atas Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH | Ketua LBH Pelita Umat
Dua hari ini penulis membuat artikel tentang kasus hukum yang penulis hadapi. Sebenarnya bukan kasus hukum, tapi kasus politik menggunakan sarana hukum.
Penulis ditangkap sebagai tersangka kasus berita bohong dan menghina penguasa berdasarkan pasal 14 ayat (2), pasal 15 UU No. 1 tahun 1946, dan/atau pasal 207 KUHP, disebabkan posisi penulis yang bersebrangan dengan rezim Jokowi. Andaikan penulis mengambil sikap merunduk, merapat pada kekuasaan apalagi mau menjadi pembantu presiden Jokowi seperti yang dilakukan Prabowo, pasti tidak akan ada satupun pasal yang dikenakan kepada penulis.
Prabowo dahulu sering dituding melakukan pelanggaran HAM saat kampanye pilpres. Namun kini setelah menjadi Menhan membantu Jokowi, tudingan itu hilang.
Hanya saja persoalan itu sementara kita tinggalkan. Penulis ingin ikut mengkritisi kasus Asabri yang baru-baru ini juga mencuat mengagetkan publik khususnya keluarga militer.
Kenapa keluarga militer ikut kaget ? Sebab kasus Asabri tak hanya berimplikasi pada masa depan anggota militer, tetapi juga keluarga yang menjadi tanggungannya.
Kasus ini mencuat ketika Menkopolhukam Mahfud MD membuka suara ihwal dugaan korupsi di Asabri. Tidak tanggung-tanggung, menurut Mahfud angkanya tak kalah dengan kasus Jiwasraya, diatasi 10 T.
Memang angka ini belum fixd, hitungan pastinya masih menunggu pemeriksaan dari BPK. Sebab, menurut UU hanya BPK yang memiliki kompetensi untuk menentukan adanya kerugian negara sekaligus menghitung nilai pastinya.
Menariknya, modus dugaan korupsi di Asabri sama persis dengan kasus Jiwasraya yakni adanya dugaan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang para direksi Asabri yang menempatkan dana kelolaan pada saham gorengan.
PT Asabri (Persero) menempatkan dana kelolaan pada 12 perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2019 yaitu menjadi Rp 1,84 triliun dari awal penghitungan Rp 9,31 triliun. Hitungan itu berasal dari kompilasi data kepemilikan saham dari 15 perusahaan yang sahamnya sempat dimiliki perusahaan BUMN pengelola asuransi TNI dan pensiunan militer tersebut pada periode Desember 2018 hingga September 2019.
Ke-12 perusahaan yang sempat dimiliki Asabri adalah PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL), PT Prima Cakrawala Abadi Tbk (PCAR), dan PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE).
Perusahaan lain adalah PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), PT SMR Utama Tbk (SMRU), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Sidomulyo Selaras Tbk (SDMU), dan PT Island Concepts Indonesia Tbk (ICON).
Kesalahan penempatan dana kelolaan pada saham yang tidak memiliki fundamental ekonomi kokoh inilah yang menyebabkan Asabri kehilangan dana yang jumlahnya ditaksir hingga 10 T lebih. Akibatnya Asabri berpotensi gagal bayar klaim kepada pemegang polis asuransi yang umumnya adalah para tentara dan purnawirawan.
Meski belum ada pemeriksaan BPK, semestinya KPK segera masuk menangani dugaan korupsi di Asabri dengan melakukan sejumlah tindakan :
Pertama, KPK wajib segera memeriksa direksi dan jajaran manajemen Asabri untuk mencari adanya sejumlah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga menyebabkan perseroan tidak berhati-hati menempatkan dana kelolaan diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan saham pada saham-saham yang tidak memiliki basis fundamental ekonomi yang kokoh.
KPK perlu menyidik perkara ini berdasarkan ketentuan pasal 2 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), yang berbunyi :
"setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah."
Kedua, KPK wajib segera memeriksa direksi dan jajaran manajemen Asabri untuk mencari adanya tindakan atau perbuatan yang terkategori menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan, yang dilakukan oleh Asabri sehingga menyebabkan perseroan tidak berhati-hati menempatkan perseroan tidak berhati-hati menempatkan dana kelolaan yang diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan saham pada saham-saham yang tidak memiliki basis fundamental ekonomi yang kokoh.
Penyidik KPK perlu menyidik perkara ini berdasarkan ketentuan pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi :
"setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar."
Selain pasal 2 dan 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), penyidik juga perlu mengembangkan dugaan adanya pemberian suap dan gratifikasi pada proses penempatan dana kelolaan Asabri pada saham berkinerja buruk. Dalam pemeriksaan saksi-saksi penyidik perlu menyidik dugaan adanya suap dan gratifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 5, pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Agar tidak ada satupun pelaku kejahatan yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya lolos dari jerat hukum, penyidik KPK wajib menyidik perkara dengan ketentuan pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang berbunyi :
"(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu."
Saya kira penegak hukum berbagi tugas, Kejaksaan Agung RI biar berfokus pada kasus Jiwasraya. Sementara KPK RI bisa masuk menangani kasus dugaan korupsi Asabri.
Selanjutnya publik wajib ikut mengontrol dan mengawasi kinerja Kejagung dan KPK. Publik juga bisa men-Chalange Kejagung dan KPK siapa yang lebih dahulu bisa membongkar kasus.
Kasus-kasus ini juga semestinya menjadi bahan koreksi tajam bagi Presiden Jokowi agar tidak gegabah sibuk mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam namun justru abai terhadap masalah pokok berbangsa. Ingat, konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kasus dugaan korupsi di Jiwasraya Dan Asabri tentu kontradiksi dengan visi negara menyejahterakan rakyat. Anggaran negara yang semestinya bisa digunakan untuk program kesejahteraan rakyat justru habis dikorupsi. [].
COMMENTS