Oleh : Nasrudin Joha Nama kebinet yang baru dibentuk Jokowi disebut kebinet Indonesia Maju. Namun, sejak awal dibentuk ternyata k...
Oleh : Nasrudin Joha
Nama kebinet yang baru dibentuk Jokowi disebut kebinet Indonesia Maju. Namun, sejak awal dibentuk ternyata kabinet ini dipenuhi konflik.
Konflik internal kebinet terjadi baik antara Presiden dengan menteri, menteri yang satu dengan kementrian yang lain, dan antara menteri dengan wakilnya, disebabkan karena adanya saling tidak percaya diantara mereka.
Ketidakpercayaan Presiden secara penuh kepada menteri terbaca dari berulangkalinya Presiden menegaskan bahwa tidak ada visi misi menteri. Yang ada hanya visi misi Presiden dan wakil Presiden. Keadaan ini menunjukan Presiden tak sepenuhnya percaya kepada menteri yang diangkatnya.
Bukankah Presiden, sebelum menetapkan seseorang menjadi menteri telah melakukan diskusi panjang dan penegasan, bahwa menteri adalah pembantu Presiden ? Apapun prestasi dan capaian menteri, adalah dalam rangka merealisir visi dan misi Presiden.
Ketidakpercayaan menteri kepada jajaran menteri lainnya, terlihat dari adanya wacana 'hak veto' oleh Menko kepada jajaran menteri dibawahnya. Bahkan konon Menko ini dapat membatalkan kebijakan dan/atau keputusan yang telah disusun menteri.
Bukankah fungsi koordinasi sang menteri itu termasuk didalamnya adalah dalam rangka mengkoordinasi dan mensinkronisasi perencanaan dan membuat kerangka umum dalam menyusun kebijakan dan keputusan menteri ? Lantas, bagaimana mungkin ada keputusan dan/atau kebijakan menteri yang dibatalkan oleh Menko berdalih 'hak veto' padahal dalam penyusunannya telah melibatkan Menko selalu pihak yang mengkoordinasi dan mensupervisi ?
Jika Menko berdalih tak terlibat atau tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan/atau keputusan menteri, bukankah itu berarti Menko telah menelantarkan kewajibannya ? Tidak melakukan kewenangan yang menjadi tugas pokok Menko bukankah terkategori penyalahgunaan wewenang ?
Bagaimana pula ada menteri yang tak nyaman dengan wamennya, karena perbedaan latar belakang. Padahal, wakil menteri hanyalah pembantu menteri. Wamen tak memiliki kewenangan membuat kebijakan dan/atau keputusan. Lantas, kenapa menteri 'risih' dengan wamennya ?
Semua itu berpulang kepada ikatan yang menghimpun kabinet itu adalah kompromi politik, bukan visi misi atau ideologi yang mengakar. Presiden mengangkat menteri bukan berdasarkan pertimbangan sang menteri memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankan tugasnya, namun lebih karena kompromi bagi jatah kursi kekuasaan karena andilnya dalam proses Pilpres. Ini yang terjadi pada kapling menteri PDIP, GOLKAR, PKB dan PPP.
Adakalanya, menteri juga dipilih bukan karena andil memenangkan Pilpres bahkan sebelumnya merupakan lawan sengit. Tetapi untuk menjaga legitimasi kemenangan Pilpres, maka Presiden mengangkatnya sebagai menteri. Ini yang terjadi pada menteri kapling Gerindra.
Tidak jarang, menteri merupakan kompromi untuk mengakomodir kelompok politik diluar partai yang juga memiliki andil bagi kemenangan Jokowi, termasuk titipan asing dan aseng. Seperti apa yang terjadi pada Sri Mulyani, Luhut dan Nadhiem Makarim.
Karenanya, fungsi menteri tidak lagi sesuai amanah konstitusi yakni membantu Presiden dalam menjalalankan fungsi pemerintahan. Menteri dari parpol, justru memiliki agenda lain yaitu :
Pertama, fungsi menteri dalam kabinet bagi parpol adalah untuk menjadi 'etalase politik parpol' dalam menjajakan partai kepada rakyat. Sosok kader yang berada di kabinet dengan program dan kebijakan menteri, akan digunakan untuk meningkatkan elektabilitas kader dan parpol asal menteri.
Karena itu, wajar jika kebijakan kementrian akan sangat kental dengan corak partai. Sebab, keberhasilan kementrian memang sengaja digunakan untuk mendongkrak elektabilitas kader dan partai, bukan untuk Presiden.
Kedua, fungsi menteri dalam kabinet bagi parpol adalah untuk menjadi tandon gizi politik partai. Bagaimanapun, partai membutuhkan anggaran untuk menghidupi kader dan organisasinya.
Melalui kementrian yang dijabat kader partai, parpol akan mengupayakan serangkaian tindakan untuk memindahkan sebagian anggaran negara ke kantong partai. Bisa dengan membuat proyek tertentu, kebijakan tertentu, keputusan tertentu yang menguntungkan bagi parpol, mitra, atau kader parpol yang dipersiapkan untuk menampung anggaran kementrian melalui proyek tertentu.
Jadi, wajar saja jika dalam kabinet Indonesia maju terdapat banyak konflik bahkan sejak awal dibentuk. Apalagi, Jokowi sendiri sebenarnya secara de facto bukanlah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dibelakang Jokowi, banyak tangan tangan tak terlihat yang mempengaruhi kebaikan dan keputusan Jokowi dalam menyelenggarakan pemerintahan. [].
COMMENTS