By : Agung Wisnuwardana Belum lepas dari ingatan kita, beberapa waktu yang lalu BNPT melemparkan tuduhan bahwa ada 7 kampus ternam...
By : Agung Wisnuwardana
Belum lepas dari ingatan kita, beberapa waktu yang lalu BNPT melemparkan tuduhan bahwa ada 7 kampus ternama negeri ini (UI, ITB, IPB, Undip, ITS, Unair, UB) terpapar radikalisme. Framing negatif ini pun akhirnya menyebar bebas dan luas melalui media sosial maupun media mainstream tanpa kejelasan kriteria, apa itu radikal. Logika absurd yang ingin dibangun adalah radikalisme itu berbahaya karena menjadi cikal bakal terorisme dan perlawanan fisik-sistemik atas negara.
Tak berselang lama, muncul publikasi penelitian Setara Institute yang menyatakan ada 10 perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme dengan memberikan gambaran ciri-cirinya. Beberapa ciri paparan radikalisme di kampus adalah adanya dominasi 3 wacana keagamaan, sebagai berikut :
(1) Kewajiban umat Islam untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Narasi yang dikembangkan adalah cara pandang bahwa keselamatan masyarakat hanya dapat dicapai selama masyarakat taat menjalankan perintah Tuhan yang sudah disampaikan melalui Al Quran dan hadits.
(2) Adanya ancaman terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam, diantaranya imperialisme-kapitalisme Barat dan kalangan liberal-sekuler.
(3) Era sekarang adalah era perang pemikiran (ghazwul fikr). Narasi yang mendapat penekanan adalah Islam ditaklukkan oleh Barat karena penguasaan pemikiran dan kebudayaan.
Sepertinya ciri-ciri ini selaras juga dengan pandangan BNPT dan rezim penguasa terkait radikalisme. Bila 3 wacana keagamaan di atas dipermasalahkan dan diberi cap paham radikal, maka sejatinya yang dipermasalahkan adalah Islam.
Islam jelas mengajarkan untuk menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi ini. Semangat untuk melakukan formalisasi syariah Islam bukan sekedar tuntutan sejarah, tetapi wujud dari ketaatan kepada Allah SWT.
Bahwa negeri ini terpapar oleh kapitalisme-imperialisme adalah fakta, bukan hoaks. Eksploitasi sumberdaya alam Indonesia oleh pihak asing, aseng, dan asong adalah faktual. Dan Islam memiliki ajaran yang berseberangan dengan kapitalisme-imperialisme. Maka wajar bila logika perang pemikiran Barat dengan Islam memang benar adanya. Bahkan Samuel P. Huntington menyebutnya sebagai benturan peradaban.
Dalam perkembangannya penelitian Setara Institute dan tuduhan BNPT menjadi semburan yang menggelikan dan dianggap oleh kalangan kampus sebagai opini yang penuh dengan framing negatif dan memiliki agenda buruk pada gerakan Islam di kampus. Semburan dan tuduhan radikalisme di kampus pun akhirnya tidak laku.
Di tengah opini radikalisme yang tidak laku, rezim penguasa malah menunjukkan kedikatoran pada kampus. Mereka melakukan intervensi pada berbagai lembaga dakwah kampus tanpa mengindahkan AD/ART lembaga yang bersangkutan. Uniknya pihak struktural kampus cenderung defensif dan manut patuh pada keinginan rezim otoriter.
Logika absurd bahwa 3 wacana keagamaan di atas menimbulkan tindakan kekerasan atas nama agama (terorisme) dan melawan secara fisik pada negara, justru tidak terjadi.
Saat aktivis dakwah kampus melakukan kritik pada kebijakan rezim yang penuh paparan kapitalisme-liberalisme adalah sebuah kewajaran. Bahkan harus dilakukan oleh insan intelektual. Tentunya kritik ini dilakukan tanpa kekerasan dan tanpa perlawanan fisik pada negara.
Tetapi sepertinya beberapa kalangan sedang melakukan “pengkondisian” agar paham yang diberi “cap radikalisme” di kampus benar-benar terbukti menimbulkan tindakan kekerasan dan perlawanan fisik pada negara.
Karena hanya dengan hal tersebut, mereka dapat memaksakan penghilangan 3 wacana keagamaan yang dicap radikal di atas dari dunia kampus dengan pemaksaan secara stuktural dan otoriter. Serta mereka akan mengintervensikan moderasi Islam di kampus agar selaras dengan paparan kapitalisme-liberalisme yang sedang terjadi di negeri ini.
Ada dugaan bahwa penangkapan dosen IPB Dr Abdul Basit dengan tuduhan menyiapkan bom molotov (yang berubah tuduhannya jadi bom ikan 😊) untuk membuat rusuh Aksi Mujahid 212 adalah bagian dari "pengkondisian" tersebut. Framing negatifnya telah menyebar luas melebihi fakta kasusnya yang terbungkus dan sulit dikonfirmasi kebenarannya.
Wallahu'alam bishawab.
COMMENTS