Bisa diperasnya Pancasila menjadi Trisila bahkan jadi Ekasila, menunjukkan Pancasila tidak sakral dan bisa berubah. Jadi tentu menjadi sua...
Bisa diperasnya Pancasila menjadi Trisila bahkan jadi Ekasila, menunjukkan Pancasila tidak sakral dan bisa berubah. Jadi tentu menjadi suatu yang a-historis jika kemudian lahir sakralisasi Pancasila.
Pancasila yang baru muncul dan diperbincangkan dalam sidang BPUPKI pada bulan Mei-Agustus 1945 diliputi suasana perdebatan yang kompleks. Dilakukan dalam masa-masa persiapan kemerdekaan yang waktunya mendesak dan di bawah bayang-bayang penjajah.
Keterdesakan itu disebabkan karena situasi politik internasional yang saat itu masih berada dalam suasana panas Perang Dunia II yang melibatkan Jepang, yang saat itu sedang menjajah Indonesia, dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, termasuk Belanda di dalamnya (Sekutu).
Situasi ini berimplikasi pada posisi Jepang. Jepang menghadapi musuh berat dan banyak dengan konsekuensi kekalahan yang terbuka. Jika kalah maka tentu harus meninggalkan tanah jajahannya, dan terbukti kalah setelah dijatuhi bom atom oleh AS.
Di saat seperti inilah kemerdekaan negeri ini penting untuk diproklamirkan sebagai bagian dari upaya mencegah Belanda kembali menjajah negeri ini. Karena sudah lazim terjadi dalam peperangan, pihak pemenang akan mengambil alih kendali wilayah dari pihak kalah.
Praktis pembahasan negara baru yang akan didirikan, termasuk pembahasan dasar negara, berlangsung singkat. Yakni hanya lebih dua bulan (29 Mei-18 Agustus). Maka wajar jika rumusan-rumusan politik yang ada sangat terbatas dan kompromistis.
Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sosok Ir. Soekarno, baik dari sisi gagasan maupun implementasi. Sekalipun gagasan dasar negara disampaikan oleh banyak tokoh yang merupakan anggota BPUPKI sebelum Bung Karno, yakni dalam rentan waktu 29 Mei-1 Juni (Masa Sidang I), baik dari kalangan nasionalis maupun islamis, penyampaian beliau bisa dikatakan sebagai akumulasi dan penyempurnaan dari gagasan sebelumnya.
Soekarno menyampaikan rumusannya dan menamainya Pancasila. Sebuah nama yang disebut-sebut sebagai usulan Mr. Muhammad Yamin, yang merupakan ahli bahasa, yang duduk berdampingan dengannya saat sidang.
Jika diperhatikan gagasan dasar negara yang disampaikan para anggota BPUPKI, ada 30 orang yang berbicara/berpidato menyampaikan gagasannya tentang dasar negara. Ada banyak usulan termasuk usulan Islam sebagai dasar negara.
Namun pidato yang lazim diketahui seperti yang termuat dalam buku Muhammad Yamin, Pembahasan Undang Undang Dasar Jilid I, hanya 3 pidato saja yakni pidato Mr. Muhammad Yamin, Prof. Supomo, dan Ir. Sukarno. Ketiganya dari kalangan nasionalis.
Anggota dari kelompok/organisasi Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara seperti Ki Bagoes Hadikusumo (Muhammadiyah). Sementara dari kalangan nasionalis seperti Mr. Muhammad Yamin (29 Mei) dan Prof. Soepomo (31 Mei) yang mengusulkan dasar negara yang juga terdiri dari lima poin, mirip dengan yang disampaikan oleh Bung Karno.
Bahkan usulan Mr. Muhammad Yamin lebih mirip dengan rumusan Pancasila yang ada saat ini. Namun keduanya tidak memberikan nama atas usulannya. Olehnya itu, bisa diduga bahwa rumusan Bung Karno turut dipengaruhi oleh gagasan kedua tokoh tersebut dan atau mereka rumuskan bersama mengingat ketiganya dari golongan yang sama, nasionalis.
Sekalipun demikian Pancasila lebih dinisbatkan kepada Bung Karno daripada keduanya. Mungkin karena pengusul nama dasar negara itu (Pancasila) adalah Bung Karno (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, 1997:18-19).
DIPERAS JADI EKASILA
Jika ditelusuri gagasan-gagasan politik Bung Karno sebelum-sebelumnya, maka didapati bahwa pandangan politiknya dipengaruhi oleh tiga pemikiran politik yang utama yakni nasionalisme, Islamisme, dan komunisme.
Pandangan-pandangan politik tersebut menunjukkan keterkaitan dengan gagasan dasar negara yang diajukannya dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Dari lima poin (5 sila) yang diajukannya menggambarkan perpaduan nasionalisme, Islamisme, dan marxisme.
Berikut usulan rumusan Pancasila Bung Karno: 1) Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme; 2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; 3) Mufakat atau demokrasi; 4) Kesejahteraan sosial; 5) Ketuhanan.
Jika rumusan Pancasila itu ditolak, kata Bung Karno, bisa diperas menjadi tiga sila saja yaitu Trisila: 1) Sosio-nasionalisme; 2) Sosio-demokratis; 3) ke-Tuhanan. Dan jika rumusan Trisila itu ditolak maka menurutnya, bisa diperas lagi menjadi satu poin saja yaitu Ekasila yakni Gotong Royong.
Usulan dasar negara Bung Karno tersebut yang bisa dirubah dari Pancasila (lima prinsip/asas) menjadi Trisila (tiga prinsip/asas) atau Ekasila (satu prinsip/asas), menunjukkan sebagai sebuah rumusan yang tidak sakral dan bisa berubah. Jadi tentu menjadi suatu yang a-historis jika kemudian lahir sakralisasi Pancasila.
Apalagi, rumusan Pancasila dari Bung Karno mengalami perubahan (tidak sama persis) rumusan yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan. Bahkan hasil rumusan Panitia Sembilan, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, juga dirubah pada 18 Agustus 1945.
Dari sini dipahami bahwa rumusan Pancasila yang merupakan Rumusan Bersama Panitia Sembilan dan setujui oleh anggota BPUPKI secara umum, adalah Pancasila yang merupakan Piagam Jakarta yang Sila Pertama menegaskan penerapan Syariat Islam bagi pemeluknya.
Adapun yang disahkan pada tanggal 18 Agustus dan yang berlaku hingga sekarang, khususnya sila pertama merupakan rumusan yang dibuat di luar persidangan Panitia Sembilan, sebagai respon atas keberatan pihak tertentu (non-Muslim yang disebut dari Timur Indonesia).
Penerimaan kalangan tokoh Islam atas rumusan itu, yang menghilangkan 7 kata penting tersebut, bersifat sementara karena keterdesakan waktu dan keadaan negara serta adanya janji Bung Karno (ada yang menyebut Bung Hatta) untuk membahas dan memperbaiki dasar negara tersebut selambat-lambatnya 6 bulan setelah proklamasi.
Sekali lagi, jika merujuk pada proses kelahirannya seperti yang disebut di atas, tidak ada sakralitas terhadap Pancasila.[]
Penulis:
Mustajab Almusthafa
Analis Politik di Lembaga Pendidikan Pelatihan Politik dan Sosial (LP3S) | Penulis buku Desakralisasi Pancasila
Editor:
Joko Prasetyo
Dimuat pada Tabloid Media Umat Edisi 249
Awal September 2019
COMMENTS